NGANTRI


Sudah sekitar seminggu ini, saya naik sepeda untuk kegiatan sehari-hari di München. Seringkali, saya harus berhenti, karena lampu merah. Pada saat itu, saya memperhatikan, sepeda pun ikut antri berjejer rapi di pinggir jalan, ketika lampu merah menyala. Ketika lampu berganti menjadi hijau, sepeda-sepeda yang berhenti rapi tersebut mulai berjalan pelan-pelan, tetap dengan pola semula yang antri dengan rapi.

Beragam orang menggunakan sepeda, mulai dari anak kecil yang hendak belajar ke sekolah, mahasiswa yang hendak ke kampus atau perpustakaan, ibu-ibu yang membawa bayinya yang juga diikat di boncengan sepeda, bapak-bapak yang lengkap dengan dasi dan jasnya untuk bekerja ke kantor, sampai dengan oma-oma yang mungkin hendak mengunjungi temannya. Mereka semua antri di lampu lalu lintas khusus untuk sepeda. Tentu saja, beberapa kali, ada orang bandel yang menyerobot lampu lalu lintas sepeda tersebut, biasanya mereka harus cepat-cepat pergi ke suatu tempat.

Sewaktu di Surabaya, saya berjumpa dengan teman lama di sebuah restoran. Ia berpendapat, bahwa belajar antri itu lebih penting daripada belajar matematika. Antri itu, menurutnya, mencerminkan sikap hidup yang luar biasa mendalam. Antri adalah keutamaan hidup yang penting, yang menyangkut sikap moral, yang jauh lebih penting daripada sekedar menguasai rumus-rumus matematika. Ketika saya bersepeda di München, saya teringat percakapan dengan teman saya di Surabaya itu.

Saya setuju dengan pendapat teman saya tersebut. Sikap antri, dari luar, memang terlihat sederhana. Orang-orang menunggu untuk melakukan sesuatu, tanpa menyerobot satu sama lain. Namun, sikap ini jelas mencerminkan penghayatan hidup yang mendalam. Sikap ini adalah cerminan keutamaan hidup yang mutlak diperlukan, jika kita mau hidup bersama secara damai. Apa saja keutaman yang tersembunyi di balik antri?

Keutamaan Antri

Antri adalah tanda dari kesabaran. Jelas, orang antri perlu untuk sabar. Orang perlu menunggu, sampai gilirannya tiba. Dalam hidup, orang pun juga perlu untuk sabar. Ia perlu menunggu, kapan gilirannya untuk maju tiba, sambil sebelumnya mempersilahkan orang yang ada terlebih dahulu untuk maju. Semua ada waktunya. Sabar..

Antri adalah tanda kemampuan manusia untuk berproses. Ketika antri, orang harus menjalani proses menunggu, terkadang cukup lama, supaya bisa mendapatkan kebutuhannya. Dalam hidup, orang pun harus berani berproses. Hal-hal baik terjadi pada orang yang berani menunggu, seperti yang sudah saya jelaskan di buku saya beberapa waktu lalu. (Wattimena, 2010) Untuk menjadi pintar dan sukses, orang perlu berproses dengan belajar dan berusaha. Orang yang tidak mau berproses, maunya cepat pintar dan cepat kaya, biasanya terjebak dalam korupsi, dan merugikan banyak orang dengan tindakannya.

Antri, ini menurut pendapat teman saya, adalah juga tanda bagi kreativitas, yakni kreativitas untuk mengisi waktu luang. Ketika antri, kita punya banyak waktu kosong. Kita bisa mengisinya dengan bengong, atau dengan tindakan-tindakan bermutu, seperti membaca misalnya. Saya sendiri lebih memilih membaca ketika antri. Itu membuat waktu berjalan lebih cepat, sehingga waktu menunggu antrian tidak terasa terlalu lama.

Dalam hidup, kita juga punya banyak waktu luang. Sepulang kerja, apa yang kita lakukan? Apakah kita sibuk ngegosip tentang hal-hal tak bermutu dengan teman-teman kita, atau kita membaca? Apakah kita sudah menghabiskan waktu luang kita dengan orang-orang yang sungguh kita cintai? Apakah kita sudah kreatif menghabiskan waktu kosong kita, sehingga bisa menjadi waktu yang baik untuk mengembangkan diri, dan membantu orang lain?

Pada level yang lebih dalam, antri adalah simbol dari keadilan. Orang kaya ataupun orang miskin harus antri, tidak ada perkecualian. Orang cantik ataupun orang “kurang” cantik, seturut dengan ukuran tertentu, harus antri, juga tidak ada perkecualian. Kalau mau dilayani lebih cepat, anda harus datang terlebih dahulu, juga tidak ada perkecualian.

Dilihat seperti ini, antri adalah simbol kesetaraan. Semua orang menjadi setara, ketika mereka sedang antri. Tidak ada raja, tidak ada ratu, yang sukanya menyerobot antrian, karena mereka merasa dirinya lebih tinggi. Keadilan dan kesetaraan antar manusia adalah konsep penting, yang bisa menjamin terciptanya hidup bersama yang damai. (Reder, 2010)

Keteraturan

Di Jerman, pemandangan orang yang antri dengan rapi sangat sering ditemukan. Memang, pepatah lama yang menggambarkan sikap hidup orang Jerman, yakni Ordnung muss sein, atau keteraturan harus ada, terbukti nyata. Semuanya diatur sedemikian rupa dengan sistem, sehingga orang tidak perlu lama menunggu dalam antrian. Pun kalau harus menunggu lama, misalnya antri membeli tiket kereta, orang diberikan fasilitas yang nyaman.

Sikap menciptakan Ordnung, atau keteraturan, inilah yang penting untuk kita teladani bersama di Indonesia. Dengan adanya keteraturan, suasana damai bisa tercipta dan terjaga. Orang tak perlu bertengkar, karena mereka merasa diperlakukan tidak adil, karena tidak adanya keteraturan. Orang bisa memperoleh kebutuhannya dengan hati tenang, karena ia percaya, bahwa dengan menunggu dan bersabar, ia akan memperoleh kebutuhannya dengan pasti.

Ordnung menghadirkan rasa percaya. Rasa percaya menghasilkan kenyamanan hidup. Bukankah kita semua ingin hidup dengan nyaman, yakni diperlakukan dengan adil dan percaya, bahwa kebutuhan kita akan terpenuhi, jika kita mau belajar, berusaha, dan antri? Jika mau hidup dengan nyaman dan damai, belajarlah bersama-sama untuk antri. Tidak ada jalan lain.

Di Indonesia, sejauh pengalaman saya, sikap antri bersama-sama dengan rapi adalah sesuatu yang sulit ditemukan. Biasanya, orang antri malah ketinggalan. Ia malah diserobot oleh orang-orang tak beradab, dan akhirnya tak memperoleh kebutuhannya. Orang antri malah memperoleh ketidakadilan dan kekecewaan.

Sulit Antri?

Ada banyak penyebab. Yang paling utama adalah tidak adanya aturan yang kuat. Tidak adanya penjaga aturan yang tegas dan berani. Akhirnya, orang menyerobot bagaikan orang biadab, karena ia tahu, ia tidak akan dihukum. Tidak ada sistem yang menjamin, bahwa orang yang antri dengan baik akan memperoleh kebutuhannya dengan adil.

Aturan lalu dikangkangi oleh uang dan kekuatan koneksi. Jika kamu anak jendral, maka kamu bisa memotong jalur Trans-Jakarta-bussway, dan kabur dari kemacetan. Jika kamu punya uang banyak, dan bersedia membayar lebih, kamu bisa memotong antrian langsung. Diskriminasi atas dasar uang dan kekuatan koneksi inilah yang membuat sikap antri, yang amat penting untuk perdamaian dan kenyamanan hidup, menjadi sulit di Indonesia.

Bahkan, tidak perlu uang dan koneksi, selama orang berani teriak-teriak ngotot di hadapan umum, ia pun bisa memotong antrian. Artinya, selama orang tidak punya malu, dan bersikap bagaikan orang tak berpendidikan, ia malah bisa memotong antrian. Jarang ada yang mau menegur, bahkan petugas resmi yang harusnya menegakkan aturan. Aturan memang ada, namun tak ada yang menghormati dan mematuhinya, karena mereka tahu, aturan itu dengan mudah dilanggar dengan uang, koneksi, atau bahkan sikap tak beradab dalam bentuk teriak-teriak di depan umum layaknya orang gila.

Tanpa adanya aturan yang berlaku, orang hidup dalam ketidakpastian. Ketidakpastian menciptakan ketakutan. Ketakutan mendorong orang untuk melakukan hal-hal jelek, misalnya bertengkar, memaki-maki di depan umum, atau korupsi. Ketakutan pulalah yang mendorong orang untuk menyuap, mencuri, dan korupsi.

Pengalaman Pribadi

Sewaktu pulang ke Jakarta beberapa waktu lalu, saya harus pergi ke kantor catatan sipil Jakarta Timur. Begitu saya masuk, saya kaget, karena begitu banyak ibu-ibu duduk dan berdiri dengan wajah takut. Mereka menanti pelayanan pembuatan akte kelahiran anak-anak atau keluarga mereka. Tidak ada sistem. Tidak ada aturan.

Semuanya menyerobot ke depan untuk minta dilayani. Petugas resmi yang mengatur antrian tidak ada. Bahkan, beberapa orang sibuk memberikan uang sogokan, supaya urusan mereka cepat selesai. Suasana kacau. Banyak anak menangis. Ibu-ibu yang khawatir. Ruangan menjadi pengap, walaupun menggunakan pendingin udara.

Saya hanya butuh tanda tangan di sana. Untuk mengurus itu, saya harus menyerobot ibu-ibu yang juga sedang teriak-teriak minta dilayani. Saya merasa bersalah sebetulnya. Karena badan saya besar, ibu-ibu itu tidak berani melawan. Untuk mendapat tanda tangan, saya harus menghabiskan waktu sekitar 3-4 jam. Ini sangat tidak efisien. Bahkan, petugasnya minta uang pada saya, walaupun sebenarnya urusan saya itu gratis. Lagi-lagi, korupsi….

Saya pulang dengan perasaan bersalah dan khawatir. Mau dibawa kemana Indonesia, jika petugas-petugas negaranya bermental perampok seperti ini? Tersirat keinginan untuk meninggalkan negeri yang dipimpin dan diatur para koruptor semacam ini. Padahal, Indonesia sebagai bangsa dan negara punya kemampuan untuk menjadi negara maju, asal diatur dengan benar saja, sesuai dengan aturan yang adil. Gampang toh?

Budaya Antri

Pertanyaan yang perlu dipikirkan lebih dalam adalah, bagaimana membangun budaya antri? Langkah pertama adalah dengan pembiasaan. Aristoteles, filsuf besar asal Yunani Kuno, sudah lama menegaskan, bahwa keutamaan datang dari pembiasaan. Kalau kita mau mengembangkan budaya antri, tidak ada cara lain, yah kita harus antri, dan menjadikan itu kebiasaan sehari-hari kita, begitu penjelasan Hans Joachim Störig tentang makna keutamaan menurut Aristoteles. (Störig, 1985)

Kebiasaan itu tidak muncul dalam sehari, namun harus dilatih terus-menerus, dan menjadi struktur tindakan yang bermakna, begitu kata Bourdieu, filsuf Prancis yang meninggal dekade lalu. (dalam Wattimena, 2013) Kebiasaan juga bisa tercipta, jika ada sistem yang mendukung. Dalam hal ini, sistem itu adalah aturan. Aturan harus dibuat semasuk akal dan seadil mungkin, yakni berlaku untuk siapapun, tanpa kecuali (kecuali keadaan genting, misalnya ada musibah, atau ibu hamil). Aturan juga harus ditegakkan oleh petugas resmi yang berani dan “pucat”. Apa maksudnya “pucat”?

“Pucat” disini artinya orang tak gampang dibujuk, ketika ada orang yang mau melanggar aturan. Saya punya dua pengalaman untuk memperjelas hal ini. Di Unika Widya Mandala, tempat saya berkarya di Indonesia, orang harus memakai sepatu (atau sepatu sandal) dan baju berkerah, ketika mau masuk kampus. Suatu hari, saya datang kesana dengan menggunakan sendal jepit dan kaos oblong. Apa yang terjadi?

Saya tidak boleh masuk. Satpam mencegat saya, dan bilang, bahwa saya harus mengganti sandal dan kaos saya, kalau mau masuk. Saya jelaskan, bahwa saya dosen yang sedang tugas belajar. Satpam itu “pucat”, ia tidak peduli. Saya tetap tak boleh masuk. Saya harus pulang. Namun, dalam hati, saya bangga dengan satpam itu. Jika saya jadi pimpinan, saya pasti akan mengangkat satpam itu jadi kepala keamanan dan ketertiban di kampus tempat saya berkarya.

Pengalaman kedua saya terjadi di perpustakaan di Jerman. Sehari-hari, saya membaca dan menulis di perpustakaan dari pagi sampai dengan sore, terkadang sampai malam. Suatu waktu, saya salah pakai baju. Saya menggunakan baju lengan pendek, padahal cuaca sedang amat dingin. Alhasil, saya kedinginan di dalam perpustakaan.

Di perpustakaan, ada peraturan jelas, bahwa jaket tidak boleh dibawa masuk. Mereka takut, jaket akan dipakai untuk menyembunyikan buku keluar perpustakaan secara tidak resmi. Menurut saya, aturan yang masuk akal, demi keamanan dan kenyamanan perpustakaan itu sendiri. Namun, karena cuaca dingin, saya memutuskan untuk mengambil jaket dari luar, dan memakainya di dalam perpustakaan.

Saya pikir, ini boleh dilakukan. Alasannya juga masuk akal: saya kedinginan. Daripada saya sakit, lebih baik saya sedikit melanggar aturan. Tiba-tiba petugas perpustakaan datang ke meja saya. Saya sudah kenal dengan petugas ini. Kami berjumpa setiap hari.

Dia bilang, “Maaf, disini tidak boleh pakai jaket.” Saya jelaskan alasan saya. Dia tetap tak berubah. Dia memberikan pilihan: saya boleh tetap disini dan melepas jaket saya, atau saya harus keluar dari perpustakaan. Saya kaget. Namun, sama seperti satpam di kampus saya di Indonesia, saya kagum dengan dia. Akhirnya, saya keluar, dan memutuskan hari itu untuk tidur dan istirahat di rumah saja, karena cuaca sedang dingin, dan saya sedang tidak sehat.

Inilah dua contoh penegak aturan yang berani dan “pucat”. Ini juga yang amat kurang di Indonesia. Keberanian untuk menegakkan aturan yang masuk akal dan adil, walaupun digoda uang dan diancam oleh orang berkuasa, adalah syarat untuk perdamaian. Inilah sistem yang mendukung orang untuk antri; untuk menunggu guna memperoleh kebutuhan mereka dengan damai. Semoga kita bisa meneladani sikap hidup dan keberanian dua penegak aturan yang saya ceritakan tadi.

Membangun Teladan

Yang juga penting adalah teladan. Keteladanan adalah bagian penting dari kepemimpinan, termasuk dalam keluarga (Wattimena, 2012) Orang-orang tua harus memberikan teladan antri dengan baik pada anak-anaknya. Di lampu-lampu lalu lintas di Jerman, saya senang sekali membaca pernyataan yang tertulis di sana: jadikan diri anda teladan (Vorbild) dalam berlalu lintas untuk anak-anak anda. Mereka bergantung pada anda. Teladan yang hidup dalam bentuk kebiasaan orang tua jauh lebih kuat daripada sekedar himbauan-himbauan moral agamais untuk membentuk karakter yang baik pada diri anak.

Di Indonesia, banyak orang tua malas antri. Mereka buang sampah sembarangan. Mereka menyogok dan korupsi. Nanti, mereka menitipkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah agama, supaya anak-anak mereka diajar hidup jujur dan bersih. Itu tidak mungkin terjadi, selama orang tuanya masih munafik, yakni ketika kata-kata dan tindakan mereka tak sejalan (Nyuruh hidup bersih tapi orang tuanya sendiri buang sampah sembarangan; nyuruh anak hidup jujur, tapi orang tuanya sendiri korupsi).

Untuk membangun budaya antri, harus ada kontrol bersama. Artinya, ketika ada yang berani menyerobot, orang-orang sekitarnya harus berani menegur, kalau perlu menegur dengan keras. Orang-orang sekitarnya harus kompak menegakkan aturan. Inilah yang saya sebut sebagai keberanian sipil (civil courage), yang terlihat kecil, namun memiliki arti yang dalam.

Jika orang itu tetap berani menyerobot, harus ada sanksi sosial dan sanksi hukum, misalnya ia dikeluarkan dari antrian, dan harus kembali ke belakang, atau dia bisa diusir pulang. Sanksi ini penting, supaya ada efek jera dalam melanggar antrian. Kalau ini dilakukan dengan teratur, maka budaya antri bisa tercipta. Orang Indonesia pada dasarnya mengerti soal ini, jika sistemnya ada. Buktinya, orang-orang Indonesia di Jerman dan Singapura tiba-tiba bisa begitu patuh pada aturan, juga dalam soal antri.

Para pemimpin negara juga harus memberikan teladan dalam soal antri. Di Indonesia, para pemimpin politik merasa dirinya penting, sehingga berhak memecah kemacetan dengan patroli polisi, supaya mereka bisa lewat lebih cepat. Ini sikap arogan dan contoh yang amat jelek untuk budaya antri. Ini sikap yang menjijikan, dan harus segera dibuang, jika Indonesia ingin maju bersama sebagai bangsa.

Antri dan Demokrasi

Uang memang penting. Namun, uang bukan segalanya. Michael Sandel, di dalam bukunya yang berjudul Was man für Geld nicht kaufen kann: Die moralischen Grenzen des Marktes, menyatakan dengan tegas, bahwa antri adalah tindakan etis di dalam masyarakat demokratis, yang tidak bisa digantikan dengan apapun juga. Orang kaya pun harus antri, walaupun ia punya uang, guna memotong antrian yang ada. Uang menurunkan kualitas moral suatu tindakan, dan bahkan menjadikannya buruk, begitu kata Sandel. (Sandel, 2012)

Di dalam masyarakat demokrasi, kata Sandel, ada hal-hal yang tidak bisa, dan tidak boleh, dibeli dengan uang. Salah satunya adalah antri. Demokrasi membutuhkan warga negara yang memiliki budaya antri. Dengan antri, orang bisa memperoleh kebutuhannya dengan nyaman dan damai. Tidak perlu ada ketakutan dan konflik. Tidak perlu ada diskriminasi dan ketidakadilan.

Lebih dari itu, antri adalah syarat untuk kebersamaan. Budaya antri juga bisa dilihat sebagai tanda, bahwa saya mengakui keberadaan orang lain. Pengakuan adalah kebutuhan dasar manusia, begitu kata Axel Honneth, filsuf Jerman asal Frankfurt. (Honneth, 2003) Kata Charles Taylor, filsuf moral asal Kanada, pengakuan, dan antri adalah tanda dari pengakuan, adalah syarat hidup bersama di dalam masyarakat multikultur secara damai. (Taylor, 1994)

Antri memang tindakan kecil dan sederhana. Namun, maknanya sangat mendalam. Kita perlu belajar antri, kalau kita mau hidup bersama secara nyaman dan damai dengan orang lain. Tak ada pilihan lain. Jadi, Pak, Bu, Mas, Mbak.. antri donk!

Daftar Acuan

Honneth, Axel, Honneth, Axel, Der Kampf um Anerkennung, Zur moralischen Grammatik sozialer Konflikte, Suhrkamp, 2003.

Reder, Michael, et.al, Gesundheit und Gerechtigkeit, Ein interkultureller Vergleich zwischen Österreich und Philipphinen, Springer, New York, 2010.

Sandel, Michael, Was man für Geld nicht kaufen kann: Die moralischen Grenzen des Marktes, Ulstein, Berlin, 2012.

Störig, Hans Joachim, Kleine Weltgeschichte der Philosophie, Kohlhammer, Stuttgart, 1985.

Taylor, Charles, et.al “The Politics of Recognition”, in Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition, Princeton University Press, New Jersey, 1994.

Wattimena, Reza A.A., Bangsa Pengumbar Hasrat, dari Filsafat Anti Gosip sampai dengan Kaderisasi Terorisme, Penerbit Sang Timur, Surabaya, 2010.

—————————, Menjadi Pemimpin Sejati, Evolitera, Jakarta, 2012.

—————————, Dunia dalam Gelembung, Evolitera, Jakarta, 2013.

Oleh Reza A.A Wattimena (Alumni SMA Gonzaga)