REFLEKSI CEMERLANG SEBUAH PROTES

Kita tentu sudah terbiasa melihat seorang lulusan terbaik dari sebuah sekolah atau kampus diundang untuk maju kedepan mimbar dan memberikan pidatonya mengenai predikat lulusan terbaik yang telah diterimanya. Umumnya para lulusan terbaik ini akan mengungkapkan betapa bersyukurnya mereka atas prestasi yang telah dicapainya tersebut dan mengucapkan banyak sekali untaian ucapan terimakasih pada orang-orang yang menurut mereka telah berjasa membantu mereka meraih predikat tersebut.

Namun bagaimana jika pidato yang disampaikan tersebut bukannya menunjukan betapa bangganya sang lulusan akan predikat tersebut namun justru sebuah pidato yang sangat brilian dan mecengangkan yang justru menampar secara keras wajah dunia pendidikan. Pidato ini disampaikan oleh seorang lulusan dari sebuah SMA Berikut ini isi pidato tersebut yang penting.

“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.

Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.

Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.

Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?

Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”

Yah inilah wajah pendidikan di dunia saat ini. Tak perlu jauh-jauh melihat keluar negeri, mari kita tengok saja di negara kita sendiri. Pendidikan yang kita jalankan lebih banyak menitik beratkan pada nilai (nilai UN atau IPK). Pendidikan yang seharusnya lebih menekankan pada proses dan pengembangan potensi peserta didik justru terkadang mematikan potensi itu. Siswa, serta juga mahasiswa, didoktrin untuk terus menghapalkan dan mempelajari berbagai materi yang lucunya sebagian besar justru tidak akan berguna saat mereka bekerja ataupun hidup bermasyarakat.

Berbagai kegiatan positif yang membantu pengembangan potensi peserta didik dilingkungan pendidikan, seperti ekstrakulikuler di sekolah atau berbagai jenis himpunan dan UKM di Perguruan Tinggi, justru dibelenggu dengan pembatasan anggaran dan pemberlakuan jam kegiatan. Lembaga pendidikan seakan hanya ingin mengembangkan potensi akademis peserta didik dan melupakan berbagai potensi lain yang mungkin dimiliki peserta didik tersebut.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa sekolah dan kuliah itu tidaklah penting karena pendidikan membuat kita memiliki pengetahuan. Tapi alangkah lebih baik jika pengetahuan itu juga ditunjang dengan pengembangan pola pikir peserta didik sehingga kita mampu menggunakan pengetahuan itu dengan cara yang paling bijaksana dan tepat. Bukankah pendidikan seharusnya membantu peserta didik untuk mengetahui siapa dirinya serta apa potensinya dan menyediakan segala sarana dan prasarana sehingga potensi itu bisa berkembang dengan sebaik-baiknya sehingga mereka mampu sukses dalam hidupnya.


Saya jadi teringat sebuah kalimat yang menurut Saya sangat mengena, tapi Saya lupa pernah membaca atau melihatnya dimana. "Orang-orang yang dulunya adalah siswa berprestasi di kelasnya umumnya akan berakhir sebagai seorang pegawai dari sebuah perusahaan, sementara teman-teman mereka yang dulunya biasa-biasa saja atau bahkan mungkin bodoh akan menjadi orang-orang yang menjadi pemilik perusahaan yang menggaji mereka". Sebuah kalimat yang lebih menohok pernah diutarakan oleh Paulo Freire, jika Saya tidak salah ingat, "Nenekku menginginkanku menjadi orang pintar, maka Ia melarangku ke sekolah".